Dimanakah jawaban-jawaban itu berada?


|Bukan ujian  namanya jika ia tak menguji kita di titik terlemah kita

|Bukan ujian hidup jika jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya kita temukan dengan mudah

|Teruslah bergerak untuk mencari jawaban yang benar atas pertanyaan-pertanyaan itu

|Jika suatu saat kau temukan jalan buntu, maka itu bukanlah akhir

|Karena masih banyak jalan lain yang mungkin salah satunya adalah jawaban atas pertanyaanmu

|Disitulah letak ikhtiarmu,,

|Peluh, lelahmu dalam ikhtiarmu adalah letak kesungguhanmu dalam mencari jawaban

|Perlulah kita belajar atas perkataan seorang Thomas Alfa Edison ,” I will not say I failed 1000 times, I will say that I discover 1000 ways that can cause failure.”

|Begitu pula perjalanan kita mencari jawaban

Advertisement

Mungkin masalahnya bukan disana, tapi disini (hati kita)


Pada sebuah majelis, seorang ummahat bercerita tentang kisah suaminya yang terbiasa menunda membalas sms seseorang jika ada perasaan marah atau tidak enak ketika membaca sms tersebut.

Suatu hari, malam ba’da isya ketika semua anggota keluarga sedang bersantai, sang suami mendapatkan pesan di handphonenya. Betapa kaget sang ummahat karena setelah membaca pesan tersebut sang suami beristighfar dengan menampakkan raut muka agak marah. Sesuai kebiasaan, beliau tidak langsung membalas pesan tersebut. Keesokan harinya, sang suami kembali membaca pesan tersebut dan kali ini sang ummahat lebih kaget karena sang suami beristighfar lebih banyak. Akhirnya, sang ummat bertanya kepada suaminya apa yang sebenarnya terjadi,

“Abi, ada sms apa sebenarnya sehingga abi beristighfar seperti itu?”, tanya sang ummahat dengan lembut.

“Astaghfirullah ummi, ketika semalam abi membaca pesan ini, abi merasa tersinggung dengan isi pesannya sehingga abi beristighfar. Dan pagi ini ketika abi membaca pesannya lagi, astaghfirullah, ternyata abi salah paham dengan dengan isi pesannya sehingga abi beristighfar lebih banyak karena hampir saja abi salah sangka dengan pengirimnya. Alhamdulillah abi kemarin tidak langsung membalas smsnya”, cerita sang suami dengan nada lega dan sedikit menyesal karena telah bersalah sangka semalam.

Betapa dari kisah ini, kita bisa mengambil pelajaran bahwa prasangka, kesalahpahaman, dan mungkin berbagai friksi ketika bermuamalah dengan sesama bukan karena mereka yang ingin menyinggung hati kita, tapi mungkin hati kita lah yang sedang bermasalah.

Bukankah orang yang suasana hatinya sedang tidak baik lebih mudah tersinggung daripada mereka yang hatinya sedang berbahagia? 😉

Mengelola Ketidaksempurnaan (Anis Matta)


Apalagi yang tersisa dari ketampanan setelah ia dibagi habis oleh Nabi Yusuf dan Muhammad. Apa lagi yang tersisa dari kecantikan setelah habis oleh Sarah, istri Nabi Ibrahim, dan Khadijah, istri Nabi Muhammad saw? Apa lagi yang tersisa dari kebajikan hati setelah ia direbut Utsman bin Affan? Apalagi yang tersisa dari kehalusan setelah ia direbut habis oleh Aisyah?

Kita hanya berbagi dari sedikit yang tersisa dari pesona jiwa raga yang direguk habis oleh para nabi dan orang shalih terdahulu. Karena itu persoalan cinta kita selalu permanen begitu: jarang sekali pesona jiwa raga menyatu secara utuh dan sempurna dalam diri kita. Pilhan-pilihan kita, dengan begitu, selalu sulit. Ada lelaki ganteng atau perempuan cantik yang kurang berbudi. Sebaliknya, ada lelaki shalih yang tidak menawan atay perempuan yang shalihah yang tidak cantik. Pesona kita selalu tunggal. Padahal cinta membutuhkan dua kaki untuk bisa berdiri dan berjalan dalam waktu yang lama. Maka tentang pesona fisi itu Imam Ghazali mengatakan: “Pilihlah istri yang cantik agar kamu tidak bosan.” Tapi tentang pesona jiwa itu Rasulullah saw bersabda, “Tapi pilihlah calon istri yangt taat beragama niscaya kamu pasti beruntung.”

Persoalan kita dalam ketidaksempurnaan. Seperti ketika dunia menyaksikan tragedi cinta Putri Diana dan Pangeran Charles. Dua setengah milyar menusia menyaksikan pemakamannya di televisi. Semua sedih. Semua menangis. Putrei yang pernah menjadi trensetter kecantikan dunia dekade 80-an itu rasanya terlalu cantik untuk di sia-siakan oleh sang pangeran. Apalagi Camila Parker yang menjadi kekasih gelap sang pangeran saat itu, secara fisik sangat tidak sebanding dengan Diana. Tapi tidak ada yang secara objektif mau bertanya ketika itu. Kenapa akhirnya Charles lebih memilih Camila, perempuan sederhana, tidak bisa dibilang cantik, dan lebih tua, ketimbang diana, gadis cantik berwajah boneka itu? Jawaban Charles mungkin memang terlalu sederhana. Tapi itu fakta, “Karena saya lebih bisa berbicara dengan Camila”.

Kekuatan budi memang bertahan lebih lama. Tapi pesona fisik justru terkembang di tahun-tahun awal pernikahan. Karena itu ia menentukan. Begitu masa uji cinta selesai, biasanya lima sampai sepuluh tahun, kekuatan budi akhirnya yang menentukan sukses tidaknya sebuah hubungan jangka panjang. Dampak gelombang magnetik fisik berkurang atau hilang bersama waktu. Bukan karena kecantikan atau ketampanan berkurang. Yang berkurang adalah pengaruhnya. Itu akibatnya sentuhan terus menerus yang mengurangi kesadaran emosi tentang gelombang magnetik tersebut.

Apa yang harus kita lakukan adalah mengelola ketidaksempurnaan melalui proses pembelajaran. Belajar adalah proses berubah secara konstan untuk menjadi lebih baik dan sempurna dari waktu ke waktu. Fisik mungkin tidak bisa diubah. Tapi pesona fisik bukan hanya tampang. Ia lebih ditentukan oleh aura yang dibentuk dari gabungan antara kepribadian bawaan, pengetahuan dan pengalaman hidup. Ketika hal itu biasanya termanifestasi pada garis-garis wajah, senyuman tatapan mata serta gerak refleks tubuh kita. Itu yang menjelaskan mengapa sering ada lelaki yang tidak perlu tampan tapi mempesona banyak wanita. Begitu juga sebaliknya.

Itu jalan tengah yang bisa ditempuh semua orang sebagai pecinta pembelajar. Karena pengetahuan dan pengalaman adalah perolehan hidup yang membuat kita tampak matang. Dan kematangan itulah pesonanya. Sebab, setiap kali pengetahuan kita bertambah, kata Malik bin Nabi, wajah kita akan tampak lebih baik dan bercahaya.

Doa


Bila kita membiasakan saling mendoakan untuk sesama dengan doa-doa yang tampak sederhana, itu artinya kita terus menerus menjaga keberadaan kita dalam iman. Itu semacam pengasahan. Yang menguatkan diri kita, bahwa dalam keadaan apapun kita tidak keluar dalam ranah keimanan.

[ Tarbawi Edisi 306 Th. 15]

Masihkah hari ini kita berdoa dengan sepenuh pengharapan kepada Allah atas segala permasalahan-permasalahan kita? ataukah hanya sekedar untaian kata yang keluar dari lisan karena telah menjadi suatu bentuk rutinitas?

Sudahkah kita berdoa untuk saudara-saudara kita?

Ketika prasangka sosial menjadi salah satu masalah laten dalam masyarakat, harapan-harapan baik dalam lafadz doa adalah anti tesanya

[ Tarbawi Edisi 306 Th. 15]

Maka,,,,,

Setelah segala upaya, penutupnya adalah doa : penyerahan segalanya pada Dzat Yang Maha Menentukan. Doa adalah harapan-harapan kita pada Allah. Betapa sederhananya, doa kita pada orang lain adalah upaya membangkitkan optimisme

[ Tarbawi Edisi 306 Th. 15]

berdoa

Orang pilihan (yang terpilih)


Sebenarnya siapa sih yang jadi jodoh kita?

Siapa yang pantas dimasukkan surga oleh Allah?

Siapa yang hari ini diberi rizki tambahan yang cukup melimpah?

Semua itu sudah digariskan oleh Allah swt. Manusia memang hanya  bisa berusaha. Berusaha dengan beramal soleh dan berbuat baik. Amalan manusia pada hakekatnya untuk “menarik simpati” dari Allah sehingga kita sebagai hamba-Nya dituruti segala keinginannya. Selayaknya anak kecil ynag sedang merajuk kepadanya ibunya untuk dibelikan mainan. Ketika kelakuan anak tersebut baik, sopan, dan menurut kepada ibunya, maka ibunya akan memberikan apa yang anak tersebut inginkan. Begitu juga antara Allah dan hamba-Nya. Jika hamba tersebut beramal soleh, menuruti apa yang dikehendaki Allah, dan segala rupanya untuk mengambil hatinya Allah, maka keinginan hamba Allah tersebut akan dikabulkan.

Allah sudah memiliki “catatan takdir”-Nya yang berisikan segala sesuatu untuk manusia. Lalu timbul pertanyaan seorang manusia, “kalau sudah ditakdirkan, ngapain kita usaha lagi? ngapain harus solat tepat waktu dan lain-lain?” NAH! Itu pertanyaan manusia yang selalu “membantah.” Jadi gini, kita harus tetap berusaha karena hal tersebut mempermudah jalan kita menuju takdir tersebut dan dapat mengubah “sedikit” takdir tersebut karena kebaikan Allah swt. Bingung yah? Memang hal ini sedikit membingungkan urusan takdir ginian nih, yang penting usaha saja lah 🙂

Kalau menurut hemat saya, urusan agama nih memang harus dengan pikiran terbuka dan pasrah lilahita’ala. Saya ada seorang teman yang dia merasa berat dosa dan berat amalan pahalanya lebih berat dosanya. Namun teman saya tersebut berusaha sebaik mungkin untuk menjadi orang yang lebih baii. Harapan dia adalah semoga Allah melihat proses dia dalam menjadi orang baik, bukan lihat hasil akhir. Kalau Allah melihatnya dan menganggap itu adalah sebuah usaha, barangkali Allah akan melakukan revisi terhadap hasil akhirnya nanti (tidak hanya menimbang berat dosa dan amal soleh saja). Wallahu’alam bishowab.

Selamat berjuang para orang terpilih 🙂

Serial Cinta (Anis Matta)


Selalu begitu. Cinta selalu membutuhkan kata. Tidak seperti perasaan-perasaan lain, cinta lebih membutuhkan kata lebih dari apapun. Maka ketika cinta terkembang dalam jiwa tiba-tiba kita merasakan sebuah dorongan yang tak terbendung untuk menyatakannya. Sorot mata takkan sanggup menyatakan semuanya.

Tidak mungkin memang. Dua bola mata kita terlalu kecil untuk mewakili semua makna yang membuncah di laut jiwa saat badai cinta datang. Mata yang sanggup menyampaikan sinyal pesan bahwa ada badai dilaut jiwa. Hanya itu. Sebab cinta adalah gelombang makna-makna yang menggores langit hati, maka jadilah pelangi; goresannya kuat, warnanya terang, paduannya rumit, tapi semuanya nyata. Indah.

Itu sebabnya ada surat cinta. Ada cerita cinta, ada puisi cinta, ada lagu, semuanya adalah kata. Walaupun tidak semua kata mampu mewakili gelombang makna-makna cinta, tapi badai itu harus diberi kanal; biar dia mengalir sampai jauh. Cinta membuat makna-makna itu jadi jauh lebih nyata dalam rekaman jiwa kita. Bukan hanya itu. Cinta bahkan menyadarkan kita pada wujud-wujud lain dari kita; langit, laut, gunung, padang rumput, tepi pantai, gelombang, purnama, matahari, senja, gelap malam, cerah pagi, taman bunga, burung-burung… tiba-tiba semua wujud itu punya arti… tiba-tiba semua wujud itu masuk kedalam kesadaran kita… tiba-tiba semua wujud itu menjadi bagian dalam hidup kita… tiba-tiba semua wujud itu menjadi kata yang setia menjelaskan perasaan-perasaan kita… tiba-tiba semua wujud itu berubah menjadi metafora-metafora yang memvisualkan makna-makna cinta. Itu sebabnya para pecinta selalu berubah menjadi sastrawan atau penyair… atau setidaknya menyukai karya-karya para sastrawan, menyukai puisi, atau mau belajar melantunkan lagu. Bukan karena ia percaya bahwa ia akan benar-benar menjadi sastrawan atau penyair yang berbakat… tapi semata-mata ia tidak kuat menahan gelombang makna-makna cinta.

Cinta membuat jiwa kita jadi halus dan lembut… maka semua yang lahir dari kehalusan dan kelembutan itu adalah juga makna-makna yang halus dan lembut… hanya katalah yang dapat menguranginya, menjamahnya perlahan-lahan sampai ia tampak terang dalam imaji kita. Puisi “Aku ingin” nya Sapardi Djoko Damono mungkin bisa jadi sebuah contoh bagaimana kata mengurangi dan menjamah makna-makna itu… apakah Sapardi sedang jatuh cinta atau sedang ingin memaknai kembali cintanya? Saya tidak tahu! Tapi begini katanya:

Aku ingin mencintaimu
Dengan cara yang sederhana
Kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu
Dengan cara yang sederhana
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

suatu saat….


Keindahan yang sebenarnya, adalah keindahan akhlak

Kecantikan yang sebenarnya, adalah kecantikan etika

Dan kebaikan yang sebenarnya, adalah kebaikan akal

[Jadilah wanita yang paling bahagia –Dr. ‘Aidh Al Qarni]

 

Setelah dipikir-pikir berat juga buat mencapai yang diatas 😦

Karena ukuran kita tak sama


seperti sepatu yang kita pakai, tiap kaki memiliki ukurannya
memaksakan tapal kecil untuk telapak besar akan menyakiti
memaksakan sepatu besar untuk tapal kecil merepotkan
kaki-kaki yang nyaman dalam sepatunya akan berbaris rapi-rapi

Seorang lelaki tinggi besar berlari-lari di tengah padang. Siang itu, mentari seakan didekatkan hingga sejengkal. Pasir membara, ranting-ranting menyala dalam tiupan angin yang keras dan panas. Dan lelaki itu masih berlari-lari. Lelaki itu menutupi wajah dari pasir yang beterbangan dengan surbannya, mengejar dan menggiring seekor anak unta.

Di padang gembalaan tak jauh darinya, berdiri sebuah dangau pribadi berjendela. Sang pemilik, ’Utsman ibn ‘Affan, sedang beristirahat sambil melantun Al Quran, dengan menyanding air sejuk dan buah-buahan. Ketika melihat lelaki nan berlari-lari itu dan mengenalnya,

“Masya Allah” ’Utsman berseru, ”Bukankah itu Amirul Mukminin?!”

Ya, lelaki tinggi besar itu adalah ‘Umar ibn Al Khaththab.

”Ya Amirul Mukminin!” teriak ‘Utsman sekuat tenaga dari pintu dangaunya,

“Apa yang kau lakukan tengah angin ganas ini? Masuklah kemari!”

Dinding dangau di samping Utsman berderak keras diterpa angin yang deras.

”Seekor unta zakat terpisah dari kawanannya. Aku takut Allah akan menanyakannya padaku. Aku akan menangkapnya. Masuklah hai ‘Utsman!” ’Umar berteriak dari kejauhan. Suaranya bersiponggang menggema memenuhi lembah dan bukit di sekalian padang.

“Masuklah kemari!” seru ‘Utsman,“Akan kusuruh pembantuku menangkapnya untukmu!”.

”Tidak!”, balas ‘Umar, “Masuklah ‘Utsman! Masuklah!”

“Demi Allah, hai Amirul Mukminin, kemarilah, Insya Allah unta itu akan kita dapatkan kembali.“

“Tidak, ini tanggung jawabku. Masuklah engkau hai ‘Utsman, anginnya makin keras, badai pasirnya mengganas!”

Angin makin kencang membawa butiran pasir membara. ‘Utsman pun masuk dan menutup pintu dangaunya. Dia bersandar dibaliknya & bergumam,

”Demi Allah, benarlah Dia & RasulNya. Engkau memang bagai Musa. Seorang yang kuat lagi terpercaya.”

‘Umar memang bukan ‘Utsman. Pun juga sebaliknya. Mereka berbeda, dan masing-masing menjadi unik dengan watak khas yang dimiliki.

‘Umar, jagoan yang biasa bergulat di Ukazh, tumbuh di tengah bani Makhzum nan keras & bani Adi nan jantan, kini memimpin kaum mukminin. Sifat-sifat itu –keras, jantan, tegas, tanggungjawab & ringan tangan turun gelanggang – dibawa ‘Umar, menjadi ciri khas kepemimpinannya.

‘Utsman, lelaki pemalu, anak tersayang kabilahnya, datang dari keluarga bani ‘Umayyah yang kaya raya dan terbiasa hidup nyaman sentausa. ’Umar tahu itu. Maka tak dimintanya ‘Utsman ikut turun ke sengatan mentari bersamanya mengejar unta zakat yang melarikan diri. Tidak. Itu bukan kebiasaan ‘Utsman. Rasa malulah yang menjadi akhlaq cantiknya. Kehalusan budi perhiasannya. Kedermawanan yang jadi jiwanya. Andai ‘Utsman jadi menyuruh sahayanya mengejar unta zakat itu; sang budak pasti dibebaskan karena Allah & dibekalinya bertimbun dinar.

Itulah ‘Umar. Dan inilah ‘Utsman. Mereka berbeda.

Bagaimanapun, Anas ibn Malik bersaksi bahwa ‘Utsman berusaha keras meneladani sebagian perilaku mulia ‘Umar sejauh jangkauan dirinya. Hidup sederhana ketika menjabat sebagai Khalifah misalnya.

“Suatu hari aku melihat ‘Utsman berkhutbah di mimbar Nabi ShallaLlaahu ‘Alaihi wa Sallam di Masjid Nabawi,” kata Anas . “Aku menghitung tambalan di surban dan jubah ‘Utsman”, lanjut Anas, “Dan kutemukan tak kurang dari tiga puluh dua jahitan.”

Dalam Dekapan ukhuwah, kita punya ukuran-ukuran yang tak serupa. Kita memiliki latar belakang yang berlainan. Maka tindak utama yang harus kita punya adalah; jangan mengukur orang dengan baju kita sendiri, atau baju milik tokoh lain lagi.

Dalam dekapan ukhuwah setiap manusia tetaplah dirinya. Tak ada yang berhak memaksa sesamanya untuk menjadi sesiapa yang ada dalam angannya.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat tulus pada saudara yang sedang diberi amanah memimpin umat. Tetapi jangan membebani dengan cara membandingkan dia terus-menerus kepada ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat pada saudara yang tengah diamanahi kekayaan. Tetapi jangan membebaninya dengan cara menyebut-nyebut selalu kisah berinfaqnya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat saudara yang dianugerahi ilmu. Tapi jangan membuatnya merasa berat dengan menuntutnya agar menjadi Zaid ibn Tsabit yang menguasai bahawa Ibrani dalam empat belas hari.

Sungguh tidak bijak menuntut seseorang untuk menjadi orang lain di zaman yang sama, apalagi menggugatnya agar tepat seperti tokoh lain pada masa yang berbeda. ‘Ali ibn Abi Thalib yang pernah diperlakukan begitu, punya jawaban yang telak dan lucu.

“Dulu di zaman khalifah Abu Bakar dan ‘Umar” kata lelaki kepada ‘Ali, “Keadaannya begitu tentram, damai dan penuh berkah. Mengapa di masa kekhalifahanmu, hai Amirul Mukminin, keadaanya begini kacau dan rusak?”

“Sebab,” kata ‘Ali sambil tersenyum, “Pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar, rakyatnya seperti aku.
Adapun di zamanku ini, rakyatnya seperti kamu!”

Dalam dekapan ukhuwah, segala kecemerlangan generasi Salaf memang ada untuk kita teladani. Tetapi caranya bukan menuntut orang lain berperilaku seperti halnya Abu Bakar, ‘Umar, “Utsman atau ‘Ali.

Sebagaimana Nabi tidak meminta Sa’d ibn Abi Waqqash melakukan peran Abu Bakar, fahamilah dalam-dalam tiap pribadi. Selebihnya jadikanlah diri kita sebagai orang paling berhak meneladani mereka. Tuntutlah diri untuk berperilaku sebagaimana para salafush shalih dan sesudah itu tak perlu sakit hati jika kawan-kawan lain tak mengikuti.

Sebab teladan yang masih menuntut sesama untuk juga menjadi teladan, akan kehilangan makna keteladanan itu sendiri. Maka jadilah kita teladan yang sunyi dalam dekapan ukhuwah.

Ialah teladan yang memahami bahwa masing-masing hati memiliki kecenderungannya, masing-masing badan memiliki pakaiannya dan masing-masing kaki mempunyai sepatunya. Teladan yang tak bersyarat dan sunyi akan membawa damai. Dalam damai pula keteladannya akan menjadi ikutan sepanjang masa.

Selanjutnya, kita harus belajar untuk menerima bahwa sudut pandang orang lain adalah juga sudut pandang yang absah. Sebagai sesama mukmin, perbedaan dalam hal-hal bukan asasi
tak lagi terpisah sebagai “haq” dan “bathil”. Istilah yang tepat adalah “shawab” dan “khatha”.

Tempaan pengalaman yang tak serupa akan membuatnya lebih berlainan lagi antara satu dengan yang lain.

Seyakin-yakinnya kita dengan apa yang kita pahami, itu tidak seharusnya membuat kita terbutakan dari kebenaran yang lebih bercahaya.

Imam Asy Syafi’i pernah menyatakan hal ini dengan indah. “Pendapatku ini benar,” ujar beliau,”Tetapi mungkin mengandung kesalahan. Adapun pendapat orang lain itu salah, namun bisa jadi mengandung kebenaran.”

sepenuh cinta,

Salim A. Fillah

I’tibar Di Balik Mati Lampu..


#repost notes facebook

Menjengkelkan. Begitulah seringkali muncul perasaan apabila lampu padam. Sebuah sikap spontan di tepi sabar yang seolah terkikis oleh hilangnya cahaya. Ekspresi jengkel pun membuntuti dengan polah yang beragam. Dari yang wajar sampai kepada yang berlebihan.

“Mamaaa, takuuut. Huuuu. Aku ga bisa lihat apa-apa. Mama di manaa …”.

”Masya Allah, mati lampu. Padahal cuaca bagus. Mungkin ada gangguan”.

“Yah, mati lagi. Ga siang ga malam. PLN brengsek. Iuran aja ga boleh telat. Pelayanan ga pernah meningkat. Ngakunya rugi melulu. Dikorup tuh!”.

Setiap saat hasil budaya dan teknologi melaju dengan cepat. Tetapi kesiapan mental untuk menghadapinya hampir-hampir berjalan merangkak. Sebelum lampu listrik menerangi rumah-rumah kita, kita jarang mengeluh bila malam tiba. Gelap yang merayap perlahan menjumpai Maghrib sampai Isya hingga menjelang Shubuh, kita sikapi dengan amat bersahaja. Kita masih rela pergi ke Surau dan Masjid untuk berdiri dalam shaf-shaf jamaah lalu mengaji meskipun hanya diterangi cahaya bulan atau lampu minyak. Lampu petromak sungguh sangat mewah kala itu. Jarang sekali yang emosional berhadapan dengan gelap, meskipun lampu harus mati karena kehabisan minyak. Tetapi jama’ah tetap gemuk. Orang mengaji tetap semarak. Masjid menjadi tempat yang amat hidup di antara Maghrib dan Isya, kemudian semarak lagi pada saat shalat Fajar di pagi buta.

Semenjak Neon dan Bohlam menggantung di langit-langit rumah, di Masjid-Masjid atau di Surau-Surau, manusia seolah enggan menikmati suasana malam. Bahkan pobia gelap. Ada kemunduran sikap mental setelah teknologi berhasil menggubah “habis gelap terbitlah terang”. Perubahan itu, amat mencolok.

Saat aliran listrik menjalar lancar dan cahaya lampu memenuhi setiap sudut rumah menjelang Maghrib, anak-anak lebih memilih bersila di depan televisi atau layar facebooknya. Sinetron, gossip, badut pengocok perut, musik, berita, sepak bola, sulap, ramalan atau debat kusir telah menggantikan “imam” Masjid dan Surau. Atau paling minim bergegas meninggalkan wirid dan ba’diyah agar tidak ketinggalan setiap episode acara pavoritnya. Masjid dan Surau jarang lagi terdengar gaung lantunan orang mengaji. Hanya cahaya lampu gantungnya yang mewah menyirami Masjid dengan aneka warna kristalnya yang kelap-kelip. Masjid dan Surau seolah ”mati” dalam terang.

Tapi tentu, dan harapan kita, ini hanyalah kenyataan pukul rata. Masih ada keluarga muslim yang tidak terjebak emosional karena teknologi. Mereka masih seperti dulu, setia dengan panggilan ketaatan saat kumandang adzan menggema. Masih setia membunyikan rangkaian huruf-huruf Hijaiyyah selepas Maghrib menjelang Isya. Begitu juga masih ada banyak Masjid dan Surau yang tetap semarak. Sebagai ”Baitullah” dan pusat pusaran yang menarik bagai magnet setiap hati yang selalu bergantung pada-Nya. Bahkan ketika listrik padam, spiritnya tetap menyala.

Gelap karena sebab apapun sebenarnya adalah satu tanda dari ayat-ayat keagungan Allah. Dan manusia beriman tidaklah gagap dalam menghadapi penomena gelap. Pertama, karena orang beriman amat menyadari bahwa pengalaman hidupnya justru dilewati dari kegelapan. Di alam kegelapan itulah tubuhnya dibentuk dan ruhnya ditiupkan. Manusia merasakan rasa aman, nyaman dan hangat di tempat yang kokoh; rahim. Masa itu dilewatinya selama lebih kurang sembilan bulan. Masa itu adalah masa gelap yang paling istimewa dalam kandungan ibu.

Kedua, gelap adalah instrumen untuk mengukur kadar kebajikan. Apakah ia akan tetap cukup memiliki cahaya ketika akan masuk ke dalam ruang gelap liang lahad sehingga alam barzakh itu akan tetap terang, nyaman, luas dan hangat seperti kandungan ibu karena kebajikan dan imannya menjadi suluh baginya. Di sinilah hati yang penuh iman akan selalu tergerak untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya sumber cahaya sebagai teman yang akan menemaninya terbaring kaku di perut bumi nanti sampai waktunya ia dibangkitkan. Begitu nikmatnya ia di komplek pekuburan, sampai-sampai ia merasakan betapa cepatnya kiamat terjadi. Bagaikan orang yang terjaga dari tidur sekejap saja seraya berujar, ” Ah, cepat sekali waktu berlalu. Rasanya baru beberapa jam saja aku terlelap”. Padahal bisa jadi, ia telah terbaring ribuan tahun yang lalu terhitung sejak nafasnya berhenti.

Hati yang penuh iman selalu beramal saleh agar kuburnya tidak menjadi kegelapan kedua tetapi menyengsarakan. Layaknya ruang bawah tanah tanpa ada secuilpun lubang cahaya, ditambah lagi dengan siksanya yang pedih dan seperti tak berkesudahan. Sehingga sering mereka memohon untuk dikembalikan ke dunia untuk menjadi mushalli, atau berinfak atau menjadi orang soleh dan berharap kapan kiamat segera datang.

Kegelapan inilah yang membuat telinganya selalu menangkap dengung pesan Nabi. ”Berhati-hatilah kalian pada perbuatan zalim. Sebab kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat”.

Ketiga, kegelapan fisik dengan segala manifestasinya hanyalah sinyal untuk kembali menangkap pesan Tuhan, bahwa manusia tidak bisa menyandarkan keselamatan hidupnya hanya dengan kekuatan fisik sebab ia sangat terbatas. Mata barulah berfungsi apabila ada cahaya yang memantul ke retina dan menangkap bayangan di depannya. Tetapi, apabila cahaya itu hilang, hilang pulalah fungsi mata itu. Maka gelaplah sepanjang jarak pandang yang buta. Di sini menjadi terang, mengapa banyak orang yang histeris ketika lampu mati.

Lalu mengapa banyak orang yang melek tetapi hakikatnya buta? Yaitu mereka yang tidak sanggup menangkap atau enggan menangkap kebesaran Allah melalui penglihatannya. Penglihatannya tak pernah sejuruspun mengarah ke Ka’bah, tetapi dihabiskan untuk hal-hal yang mengundang nafsu birahi dan kepuasan sesaat. Maka alangkah ruginya bola mata itu jika hanya mengikuti nafsu. Dan sungguh amatlah beruntung orang yang buta bola matanya, tetapi memiliki ketajaman menangkap cahaya iman. Manusia mulia seperti Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu ’anhu amatlah beruntung. Orang seperti ini adalah sesabar-sabarnya mahluk di saat lampu mati dan tidak pernah bergantung kecuali pada cahaya imannya.

Akhirnya, gelap memang mengundang sejuta respon. Ada yang enggan. Ada yang biasa saja. Ada juga yang sengaja ingin “gelap-gelapan”. Yang pasti semuanya ingin tetap terang sampai liang kubur dan pada hari di mana manusia mempertanggungjawabkan amalnya sendiri-sendiri.

Semoga kita adalah orang yang bermandi cahaya sepenuh hidup yang fana’ sampai yang baqa’. Allahu a’lam.

abdul_mutaqin (www.eramuslim.com)

——++++++——

yah, gelap tak selamanya menakutkan..
karena disaat gelap, kita menyadari bahwa sebenarnya diri ini sangat lemah..

dan gelap yang sangat saya syukuri adalah gelapnya langit di malam hari,karena disanalah bintang-bintang bertebaran menghias sang langit,memancarkan keagungan Ilahi..^^

“Yang menciptakanlngit berlapis-lapis. tidak akan kamu lihat sesuatu yang tak seimbang pada ciptaan Tuhan yang Maha Pengasih. maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat? kemudian ulangi pandangan (mu) sekali lagi (dan) sekali lagi,niscaya pandangan(mu) akan kembali padamu tanpa menemukan cacat dan ia (pandanganmu) dalam keadaan letih” (Al Mulk : 4-5)