Pada sebuah majelis, seorang ummahat bercerita tentang kisah suaminya yang terbiasa menunda membalas sms seseorang jika ada perasaan marah atau tidak enak ketika membaca sms tersebut.
Suatu hari, malam ba’da isya ketika semua anggota keluarga sedang bersantai, sang suami mendapatkan pesan di handphonenya. Betapa kaget sang ummahat karena setelah membaca pesan tersebut sang suami beristighfar dengan menampakkan raut muka agak marah. Sesuai kebiasaan, beliau tidak langsung membalas pesan tersebut. Keesokan harinya, sang suami kembali membaca pesan tersebut dan kali ini sang ummahat lebih kaget karena sang suami beristighfar lebih banyak. Akhirnya, sang ummat bertanya kepada suaminya apa yang sebenarnya terjadi,
“Abi, ada sms apa sebenarnya sehingga abi beristighfar seperti itu?”, tanya sang ummahat dengan lembut.
“Astaghfirullah ummi, ketika semalam abi membaca pesan ini, abi merasa tersinggung dengan isi pesannya sehingga abi beristighfar. Dan pagi ini ketika abi membaca pesannya lagi, astaghfirullah, ternyata abi salah paham dengan dengan isi pesannya sehingga abi beristighfar lebih banyak karena hampir saja abi salah sangka dengan pengirimnya. Alhamdulillah abi kemarin tidak langsung membalas smsnya”, cerita sang suami dengan nada lega dan sedikit menyesal karena telah bersalah sangka semalam.
Betapa dari kisah ini, kita bisa mengambil pelajaran bahwa prasangka, kesalahpahaman, dan mungkin berbagai friksi ketika bermuamalah dengan sesama bukan karena mereka yang ingin menyinggung hati kita, tapi mungkin hati kita lah yang sedang bermasalah.
Bukankah orang yang suasana hatinya sedang tidak baik lebih mudah tersinggung daripada mereka yang hatinya sedang berbahagia? 😉